Penentuan nasib manusia untuk menjadi penghuni surga atau neraka bermula dari yaumul hisab; hari diperhitungkannya segala amal, dan yaumul mizan; hari ditimbangnya amal baik dan buruk manusia selama di dunia. Surga dan neraka akan ditentukan dari hasil timbangan tersebut. Al-mizan (timbangan) akan memberikan jawaban atas pertanyaan; apakah amalan seorang hamba yang lebih berat, amal kebaikan ataukah amal keburukan?
Ahlus Sunnah meyakini tentang ditegakkannya al-mizan dan dibukanya catatan-catatan amal. Menurut bahasa, mizan berarti alat yang digunakan untuk mengukur sesuatu berdasarkan berat dan ringan (neraca). Sedangkan menurut istilah, mizan adalah sesuatu yang Allah Azza wa Jalla letakkan pada hari Kiamat untuk menimbang amalan hamba-Nya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh al-Qur`an, Sunnah, dan ijma’ salafush shalih. [lihat Syarah Lum’atul I’tiqad hal. 120]
“Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)-nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Barangsiapa ringan timbangan (kebaikan)-nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-Mukminun: 102-103)
Ternyata di sisi lain, ada pihak yang sedang harap-harap cemas, yakni mereka yang kelak akan menempati suatu tempat tinggi yang lokasinya berada di antara surga dan neraka. Ya, inilah tempat yang dimaksud dengan tembok al-A’raf.
A’raf adalah jama’ dari urf yang secara bahasa berarti tempat yang tinggi. Allah SWT pun menempatkan nama Al A’raf sebagai nama surat ketujuh dalam Al-Qur’an. Namun, kali ini pembahasan akan mengerucut pada misteri tembok dan Ashhabul (penghuni) A’raf. Al-A’raf diterangkan langsung oleh Allah SWT, sebagaimana yang tertuang di dalam firman-Nya,
“Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada batas; dan di atas al-A’raf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga, “Salaamun ‘alaikum” mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya). Ðan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim itu.” (QS. Al-A’raf: 46-47)
“Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada batas; dan di atas al-A’raf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga, “Salaamun ‘alaikum” mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya). Ðan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim itu.” (QS. Al-A’raf: 46-47)
Tembok al-A’raf merupakan tembok tinggi, pembatas antara surga dan neraka. Surat dan ayat yang lain menyiratkan tentang tembok ini, tetapi dengan menggunakan kata dinding. Seperti di dalam firman-Nya, “… Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.”(QS. Al-Hadid: 13)
Adapun penghuni al A’raf disebut ashhabul A’raf. Siapakah gerangan? Yakni mereka yang timbangan amal baik dan amal buruknya seimbang. Seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud, “Barang siapa yang kebaikan dan keburukannya seimbang maka ia adalah ashhabul A’raf.”
Berlaku untuk siapa saja? Teruntuk seluruh umat manusia. Sebagaimana yang disebutkan Ibnu Jauzi di dalam tafsirnya, “Jumhur Ulama telah sepakat bahwa ashhabul A’raf adalah dari Bani Adam semuanya, bukan khusus bagi Umat Nabi Muhammad SAW saja.”
Para Ashhabul A’raf pun mengenali ciri-ciri penghuni surga dan neraka, “pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram…” (QS. Ali Imran: 106)
Ya! Untuk sementara waktu nasib mereka terkatung-katung, tidak tentu arah. Mereka hanya bisa memandangi kenikmatan surga dan para penghuni di dalamnya. Begitupun saat pandangan mereka dialihkan ke neraka, hanya doa yang bisa terpanjat agar terhindar dari siksa pedihnya.
Bagaimana sesungguhnya nasib ashhabul A’raf kelak? Pada akhirnya mereka masuk surga, “…Masuklah ke dalam surga, tidak ada kekhawatiran terhadapmu dan tidak (pula) kamu bersedih hati.”(QS. Al-A’raf: 49) Dengan cara apa? Yaitu setelah mendapat syafa’at dari Nabi.
Imam Ath-Thabarani meriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, “Orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebajikan memasuki surga dengan tanpa hisab, orang yang pertengahan memasuki surga dengan rahmat Allah dan juga orang yang menzalimi diri mereka sendiri, adapun ashhabul A’raf mereka masuk surga dengan syafa’at dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Sekarang, adakah perbuatan yang bisa menambah timbangan amal di akhirat kelak? Jawabnya ada, di antaranya seperti yang dijelaskan di beberapa hadist Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Dua kalimat yang ringan untuk diucapkan, tetapi berat dalam timbangan dan disukai oleh Allah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), yaitu: ‘Subhaanallahi wa bihamdihi’ (Maha Suci Allah Tuhan dengan segala pujian-Nya) dan ‘Subhaanallahil ‘azhiim’ (Maha Suci Allah Tuhan Yang Maha Agung).” (HR. Bukhari No. 6682 dan Muslim No. 2694)
Dari Abu Malik al-Harits bin ‘Ashim al-Asy’ari ra, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Bersuci adalah sebagian dari iman, alhamdulillah (segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan. Subhanallah walhamdulillah, keduanya memenuhi antara langit dan bumi; shalat adalah cahaya; sedekah adalah petunjuk; sabar adalah sinar, dan Al-Qur`an adalah hujjah bagimu. Setiap manusia melakukan perbuatan: ada yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya,” (HR. Muslim No. 223)
Disebutkan juga di dalam hadits riwayat Muslim, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah, bahwa:, “Tasbih dan takbir memenuhi langit dan bumi.” Ditegaskan pula dalam hadits Ali bin Abi Thalib ra, Abu Hurairah ra, Abdullah bin ‘Amr ra, dan seorang dari Bani Sulaim bahwa ”Tasbih adalah separuh timbangan dan alhamdulillah memenuhi timbangan.”
Berkaca dari hadits-hadits di atas, kalimat dzikir seperti subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha illallah dan allahu akbar ternyata akan menambah juga timbangan kebaikan. Dzikir-dzikir tersebut merupakan dzikir mutlak, artinya tidak ditentukan oleh syara’ (Al Qur’an dan As Sunnah) kapan waktunya dibaca, sehingga siapapun boleh membaca dzikir tersebut setiap waktu. Berbeda dengan dzikir muqayyad, yaitu jenis dzikir yang sudah ditentukan oleh syara’ kapan waktu dibacanya, seperti dzikir sesudah shalat, dzikir masuk dan keluar masjid, dzikir memakai pakaian dan melepasnya, dan dzikir-dzikir tertentu yang waktu dibacanya sudah ditetapkan.
“Hai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah (mengingat) kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42)
Semoga timbangan kita lebih berat kepada kebaikan, sehingga bisa terhindar dari tembok Al-A’raf dan bersegera dalam mendapatkan kenikmatan surga. Salah satu caranya dengan mendawamkan amalan yang dianggap ringan, namun dapat memperberat timbangan kebaikan kelak di yaumil mizan. Diantaranya, dengan senantiasa melantunkan dzikir tasbih, tahmid, tahlil dan takbir dalam setiap keadaan. Aamiin
Sumber : https://wahidnews.com
loading...
0 Response to "Menguak Misteri Tembok Al-A’raf"
Post a Comment